Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam Tentang Mahalnya Harga Kemerdekaan Perempuan [Ulasan]
Perempuan seperti binatang dijinakkan untuk dikawini, dijadikan pabrik anak, dieksploitasi, disakiti, lalu dicampakkan. Perlawanan justru menempatkan perempuan di posisi serba salah, dilabeli “lupa kain, lupa kebaya” oleh adat di tanah lahirnya sendiri.
Perempuan yang menangis kepada bulan hitam ditulis oleh Dian Purnomo atau kerap disapa Mbak Dian pada 2021. Ia juga memiliki perhatian pada isu sosial khususnya perempuan. Kesempatannya mendapatkan Grant Residensi Penulis Indonesia 2019 di Sumba memperlihatkannya hak-hak perempuan Sumba yang dibuat tak berdaya oleh adat tanah kelahirannya sendiri. Sehingga menggedor hatinya untuk menyuarakan jeritan perempuan Sumba yang seolah tak terdengar — bahkan oleh Tuhan sekalipun — dalam sebuah buku agar dapat diketahui dan lebih diperhatikan oleh banyak orang.
“Tangisnya pada bulan hitam adalah tangis perempuan yang tubuhnya masih menjadi properti laki-laki. .…Dua kali sa lolos dari maut. Tapi leluhur terus kasih sa pung air mata jatuh. Sampai kapan sa dan perempuan lain di sa pung tanah ini akan terus menangis?” — hal. 312
Buku cantik bersampul merah muda ini diberi peringatan trigger warning. Karena adegan pemerkosaan, bunuh diri, KDRT verbal maupun non-verbal diceritakan blak-blakan. Buku yang juga akan menguras emosi pembacanya sampai ke ubun-ubun dan nyeri hati mengalahkan sakitnya dijadiin second choice, walah…
Menceritakan salah satu adat di Sumba, yaitu Yappa Mawine/Kawin Tangkap yang praktiknya semengerikan namanya. Sederhananya, tradisi ini adalah kawin paksa dengan menculik perempuan untuk dijadikan istri yang hanya diketahui oleh calon pria dan keluarga perempuan, namun tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari si perempuan. Awalnya tujuan tradisi ini untuk menghemat biaya belis (mahar) tapi, semakin kesini tradisi ini banyak dilakukan dengan menyalahi aturan.
Magi Diela adalah tokoh utama dalam novel ini. Gadis muda dari Desa Wee Wulla, Kec. Wewewa Selatan, Sumba Barat Daya, NTT yang optimistik dan mempunyai rencana matang untuk masa depannya. Bekerja sebagai tenaga honorer di Dinas Pertanian Sumba dan berbekal gelar sarjana pertanian ia berambisi besar untuk memajukan tanah kelahirannya. Naasnya sebuah kejadian tiba-tiba saja terjadi mengubah seluruh nasib kehidupannya. Mimpi, cita-cita, bahkan harga dirinya direnggut paksa dalam semalam.
Magi harus memilih neraka hidupnya sendiri. Diculik dan dijinakkan seperti binatang untuk dikawinkan dengan Leba Ali, pria paruh baya yang menyalahgunakan adat dengan kekuasaannya guna memenuhi hasrat dan nafsu birahinya. Yang tak kalah mengejutkan, Ama Bibi (ayah) Magi juga mengantarkan anak perempuannya ke neraka. Keluarga yang menjadi harapan utamanya untuk membelanya, memilih tunduk pada adat demi menyelamatkan nama baik keluarga.
“Menyerah pada paksaan sama dengan membiarkan kemerdekaan dirampas, membiarkan tubuh dimiliki orang lain dan diperkosa setiap hari” — hal. 62
Bersama Dangu Toba, sahabatnya, satu-satunya orang di desanya yang berada di pihaknya, Mama Mina, dan Gema Perempuan ia mencoba berjuang dengan segala keterbatasan untuk menuntut keadilan sebagai “Korban” & mengungkap kebobrokan Leba Ali. Meski itu berarti ia harus nekat melawan orang tua, adat, dan seisi kampungnya.
“Tolong, tetap hidup. Karena mayat tidak bisa berjuang!” — hal. 263 Menjadi bahan bakar Magi yang mengobarkan semangat perjuanganya melawan hukum yang tumpul.
Walaupun menceritakan konflik yang berat dan rumit, namun alur cerita novel ini terasa cepat. Emosi di tiap lembar dibuat naik turun dan campur aduk, marah, kecewa, sedih, benci, putus asa, geram dengan adat yang kejam. Yang lebih menariknya lagi, Mbak Dian begitu gamblang dalam memilih kata yang apa adanya tanpa perlu diperhalus untuk tindakan kejahatan, seperti diperkosa, digerayang, diculik.
Magi dalam kisah ini juga dibuat sebagi tokoh perempuan yang tangguh, berani melawan, merepresentasikan sosok perempuan yang kuat. Walaupun dikenyataannya tak semua perempuan mampu berlaku seperti Magi. Kalau kalian membaca buku ini akan mengerti mengapa tradisi kawin tangkap sangat amat merugikan perempuan. Bahwa setinggi apapun pendidikan perempuan, ia akan tetap dianggap sebagai aset dalam pernikahan. Bahkan perempuan di Indonesia Timur ternyata masih beranggapan seorang istri dipukul oleh suami adalah bentuk kasih sayang dan perempuan tak boleh melawan/menolak. Padahal perempuan tetaplah manusia yang harus diperlakukan dengan baik karena dari perempuanlah manusia terlahir.
“Berhenti membuat kami merasa seperti barang, yang bisa di tukar dengan hewan, yang dihargai hanya karna kami pung rahim” — hal. 147
Karena itu, novel Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam rasanya sangat penting dibaca oleh semua kalangan terutama laki-laki. Membuat kita menyadari masih banyak isu perempuan yang perlu diperhatikan dan diperjuangkan. Juga turut membuka pandangan akan adat yang tak semuanya pantas dipertahankan kalau merugikan pihak tertentu, karena perempuan juga berhak memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam memilih jalan hidupnya sendiri.
“Seharusnya kamu tidak berpikir bahwa perempuan dan laki-laki itu berbeda. Apa yang bisa dilakukan laki-laki, bisa dilakukan perempuan begitu juga sebaliknya” — hal.185
Dengan diangkatnya kisah ini kepermukaan dan dibaca oleh banyak orang, semoga di belahan Indonesia atau di belahan dunia lainnya, tak ada lagi jeritan perempuan yang menangis kepada bulan hitam atas kejahatan dibalik tradisi.